Babel Darurat Kepercayaan, Dikit-Dikit Lapor, Dialog Hilang

  • Bagikan

Oleh: Bangdoi Ahada. 

Bangka Belitung, Tajukbabel.com,-

Opini… Akhir-akhir ini, Bangka Belitung seperti sedang demam satu hal: lapor-melapor. Ada rakyat yang melaporkan pemimpin, ada pemimpin yang melaporkan rakyat.

Pendeknya, “ke Polda dulu, bicara belakangan.” Fenomena ini tentu tidak elok bagi iklim demokrasi kita.

Ada sesuatu yang retak dalam hubungan rakyat dan pemimpinnya—retakan yang, jika dibiarkan, bisa berubah jadi jurang.
Padahal, sebuah daerah hanya bisa maju kalau ada kepercayaan dan kasih sayang—ya, betul, kasih sayang—antara rakyat dan pemimpin. Laporan polisi yang saling bertaut itu sebenarnya hanya gejala dari inti persoalan: hilangnya sinkronisasi, hilangnya kedekatan emosional, dan hilangnya keberanian untuk duduk satu meja.

Bangka Belitung dikenal sebagai tanah Melayu. Dan di tanah Melayu, persoalan besar atau kecil punya satu tradisi penyelesaian: musyawarah. Sederhana saja sebenarnya—kalau ada masalah, panggil tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat. Duduk bersama, saling dengar, cari titik terang. Budaya kita mengajarkan bahwa masalah tidak selalu harus langsung dibawa ke ranah hukum. Ada banyak ruang perbincangan sebelum sampai ke sana. Dan sebenarnya, bukankah lebih elegan bila pemimpin dan rakyat kembali membangun jembatan dialog? Bukankah lebih indah bila gesekan tidak langsung berubah menjadi laporan polisi?
Konflik Itu Melelahkan
Ketika pemimpin dan rakyat saling curiga, saling marah, saling melapor,

Energi sosial kita terkuras. Pemimpin jadi bekerja dengan rasa waswas, masyarakat pun hidup dengan aura negatif. Pembangunan tidak mungkin maju kalau yang satu merasa diawasi, yang lain merasa tak dipercaya.
Padahal kita semua tahu, baik pemimpin maupun masyarakat, sama-sama ingin satu hal: kehidupan yang sejahtera, aman, damai, dan membanggakan.
Mungkin ini saatnya pemimpin dan masyarakat kembali memilih jalan paling sederhana: bertemu. Berbincang. Menyampaikan keluhan. Mendengar kritik. Menjelaskan duduk perkara.
Kalau rakyat salah paham, luruskan. Kalau pemimpin keliru, akuilah dan perbaiki. Tidak perlu semuanya dibawa ke hukum, apalagi jika masalah itu sebenarnya bersifat pribadi dan terjadi sebelum seseorang menjabat sebagai pejabat publik.

Mari memberi ruang bagi kedewasaan sosial kita sebagai orang Melayu: selesaikan tanpa gaduh, tanpa gertak, tanpa drama.

Di usia seperempat abad ini, Bangka Belitung semestinya melangkah dengan kepala tegak sebagai daerah yang matang. Daerah yang bermartabat bukan karena bebas dari persoalan, tapi karena bijak dalam menyelesaikannya.
Maka, kepada para pemimpin dan masyarakat Babel:

Cukuplah lapor-lapor itu. Kita bisa memilih jalan yang lebih elegan dan lebih Melayu: musyawarah, dialog, dan hati yang lapang. Bangka Belitung akan lebih maju ketika suara rakyat dan langkah pemimpin berjalan seirama—bukan saling berseberangan.
Karena membangun daerah itu lebih ringan bila kita saling percaya, bukan saling melapor. (*)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *