Catatan Fakhruddin Halim
Tidur itu laksana mati. Maka ketika seseorang itu tidur dia tidak merasakan apapun.
Imam Fakhruddin al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghayb), ketika menjelaskan QS. Al-Zumar: Ayat 42, “Maksud ayat itu adalah bahwa Allah mematikan jiwa ketika telah datang kematiannya dan ketika tidur.”
Hanya saja, lanjutnya, Dia menggenggam jiwa yang telah datang ajalnya dan melepaskan jiwa lain hingga datang waktu kematiannya yang telah ditetapkan.
Jiwa telah datang ajalnya digenggam dan tidak akan dikembalikan lagi kepada tubuhnya, sementara jiwa yang dipegang ketika tidur akan dikembalikan lagi kepada tubuhnya saat ia bangun tidur. Keadaan itu akan berlangsung hingga datangnya waktu kematian yang telah ditetapkan untuk jiwa tersebut.
Artinya seseorang yang sedang tidur terpisah dari keadaan di sekelilingnya bagaikan orang yang mati.
Kesadaran orang tersebut hilang. Maka diapakan saja, dia tidak akan merasakan. Misal, ada ular yang melintasi tubuhnya, dia tidak akan merasa ketakutan, sebab dia tidak sadar.
Lalu bagaimana agar dia sadar bahwa dia dalam keadaan bahaya. Satu-satunya jalan harus dibangunkan.
Nah, bisa jadi ketika dibangunkan malah dia akan marah. Sebab, merasa diganggu tidurnya. Padahal orang ingin menolongnya dari bahaya.
Makna tertidur adalah hilangnya kesadaran. Inilah kata kuncinya. Hilang kedasaran itu selain bermakna individual, bisa juga dalam bentuk komunal, sosial dan politik.
Berapa banyak orang hilang kesadaran atas realitas sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan keyakinan terhadap agama. Itu artinya mereka sedang tertidur.
Ada yang tidak merasa kondisi sosial sedang rusak, ekonomi terpuruk, politik rasa oligarki, agama mengalami distorsi makna.
Pertanyaannya berapa lama kita tertidur? Sehingga tidak merasakan apapun, kecuali baik-baik saja? (*)
Link : Cyber Media Network (CMN)